Nama Raden Mas Panji (RMP) Sosrokartono memang kalah
populer dibandingkan adiknya, Raden Ajeng (RA) Kartini.
Setelah menamatkan sekolah Eropesche Lagere School
(ELS) di Jepara, Sosrokartono melanjutkan pendidikannya ke Hoogere Burgerschool
( HBS) di Semarang. Tahun 1898 Sosrokartono bersekolah ke Belanda, yang pada
awalnya di Delft, kemudian berganti ke Leiden.
Pendidikan terakhir Sosrokartono adalah jurusan Bahasa
dan Kesusastraan Timur. Keistimewaannya saat itu sebagai seorang Indonesia yang
bersekolah di Belanda.
Kecerdasan Sosrokartono menarik perhatian Profesor Dr
Johan Hendrik Kern. Meski baru pindah kampus, Kern sudah menyuruhnya bicara di
Kongres Sastra Belanda di Gent, Belgia, pada September 1899. Sosrokartono
menyambut tawaran Kern dengan membawakan pidato Het Nederlandsch in Indie (Bahasa Belanda di Hindia Belanda).
Dalam pidatonya, Sosrokartono menyatakan dengan tegas
bahwa selama matahari dan rembulan bersinar, dia menantang dan menjadi musuh
dari siapa pun yang akan membuat bangsanya menjadi bangsa Eropa atau setengah
Eropa.
Sosrokartono juga adalah musuh bagi mereka yang
menginjak-injak tradisi serta adat kebiasaan bangsanya yang luhur. Pidato
pertamanya itu merupakan seruan seorang patriotik yang juga mengutarakan agar
keluhuran tradisi mesti dipertahankan orang-orang pribumi dimana saja berada.
Berbekal pengetahuan yang terbuka, Sosrokartono
meminta pemerintah Belanda agar bahasa Belanda dan bahasa internasional lain
diajarkan di Hindia Belanda, tujuannya agar kaum pribumi bisa mempertahankan
kemuliaan dan harga diri mereka.
Sebulan kemudian pidatonya dimuat di majalah bulanan
Neerlandia. Selepas dari Leiden, Sosrokartono berkelana ke Eropa menjalani
beragam profesi. Kemampuannya sebagai polyglot mencatat Sosrokartono menguasai
24 bahasa asing dan 10 bahasa suku di nusantara.
Sosrokartono pernah berperan sebagai penerjemah di
Wina, dan wartawan. Kariernya amat gemilang saat Sosrokartono bekerja sebagai wartawan
perang The New York Herald Tribune.
Koran ini satu-satunya yang memuat hasil perundingan
antara Jerman, diwakili Stresman, yang kalah perang dan Prancis yang menang
perang, diwakili Foch.
Perundingan itu berlangsung secara rahasia di sebuah
gerbong kereta api di hutan Campienne, Prancis, dan dijaga sangat ketat.
Penulis hanya mencantumkan kode bintang tiga, namun di kalangan wartawan Perang
Dunia I kode itu dikenal sebagai kode dari wartawan perang Sosrokartono.
Tulisan itu menggemparkan Amerika juga Eropa.
Pascaperang, Sosrokartono berprofesi sebagai ahli
bahasa di kedutaan Prancis di Den Haag. Sosrokartono meninggal 8 Februari 1952.
Ia dimakamkan disamping makam orang tuanya Nyai Ngasirah dan RMA Sosroningrat,
di Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah
(Content
Writer: Hening Bulan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar