Rabu, 24 Agustus 2022

Pembuat Lambang Garuda Pancasila

Sultan Hamid II. Di nadinya mengalir darah ningrat Kesultanan Pontianak. Dia satu dari sedikit orang pribumi yang bisa lulus Akademi Militer Belanda di Breda, Belanda. Sultan Syarif Hamid Alkadri dilahirkan 12 Juli 1913. Putra Sultan Syarif Muhammad Alkadri, Sultan ke enam Pontianak.

Walau terlahir dari Kesultanan Islam, kehidupan Hamid Alkadri Keeropa-eropaan. Dia sempat masuk Technische Hooge School (THS). Tetapi akhirnya lebih memilih menjadi perwira tentara Belanda yang disebut Koninklijk Nederlandsch-Indish Leger (KNIL). Hamid muda memutuskan masuk ke Koninklijke Militaire Academie di Breda. Dia mengaku sangat tertarik dengan kehidupan militer.

Setelah lulus, Hamid menjadi Letnan II. Hamid juga menikah dengan wanita Belanda bernama Marie van Delden. Wanita yang dikenal dengan nama Dina van Delden ini putri seorang kapten tentara Belanda. Masuknya Jepang menghancurkan kekuatan Belanda di Nusantara. Hamid yang sempat berperang di Balikpapan ini kemudian dijebloskan Jepang ke penjara di Batavia. Dia ditahan dari tahun 1942-1945. Baru bebas setelah Jepang dikalahkan sekutu.

Setelah Belanda ingin berkuasa kembali ke Indonesia tahun 1946, Hamid kembali menjadi tentara Belanda. Pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel, kemudian jenderal mayor. Mungkin dia pribumi dengan pangkat militer tertinggi. Tapi akhirnya dia melepaskan diri dari dinas militer dan memimpin rakyat Pontianak.

Diakui Hamid, sebuah keputusan yang berat meninggalkan dunia ketentaraaan. Apalagi dia diangkat menjadi ajudan istimewa Ratu Belanda Wilhelmena. Kemudian Sultan Hamid menjadi Ketua Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO). Forum negara-negara federal di Indonesia. Banyak pihak yang menganggap BFO adalah boneka Belanda, walau pendapat ini tak selamanya benar.

Saat Republik Indonesia Serikat (RIS) terbentuk, Hamid diangkat Soekarno untuk menjadi menteri negara. Tugasnya menyediakan gedung dan menciptakan lambang negara. Hamid menyerahkan rancangannya. Wujud seorang manusia yang berkepala Garuda dan menggenggam perisai Pancasila. Itulah disain awal Pancasila. Soekarno kemudian memberikan beberapa usul, manusia Garuda diubah sepenuhnya menjadi burung garuda. Tapi saat itu burung garuda masih ‘gundul’ dan tidak berjambul. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk kali pertamanya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.

Soekarno terus memperbaiki bentuk Garuda Pancasila. Pada tanggal 20 Maret 1950 Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, melukis kembali rancangan tersebut. Beberapa yang diperbaiki antara lain penambahan jambul pada kepala Garuda Pancasila. Selain itu mengubah posisi cakar kaki yang mencengkeram pita dari semula di belakang pita menjadi di depan pita. Banyak yang menduga, Soekarno menambahkan jambul karena kepala Garuda gundul dianggap terlalu mirip dengan Bald Eagle, Lambang Amerika Serikat.

Karier politik Hamid sendiri berakhir tak lama berselang. Dia bersekutu dengan Westerling untuk menyerang sidang kabinet di Pejambon tahun 1950. Hamid memerintahkan Westerling membunuh menteri pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel TB Simatupang dan Sekjen Kementerian Pertahanan Ali Budiarjo.

Percobaan pembunuhan itu gagal. Saat komplotan Westerling menyerang, rapat sudah selesai. Sultan Hamengkubuwono IX lalu menangkap Sultan Hamid II. Dia diadili tahun 1953. Pembelaan dirinya ditolak. Pengadilan mengganjarnya dengan hukuman 10 tahun penjara atas kesalahan menggerakkan pemberontakan.

Nama Hamid pun dikenal sebagai pemberontak. Begitu yang tertulis di buku-buku sejarah. Jasanya menciptakan burung Garuda seolah digugurkan. Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.

(Content Writter: Hening Bulan)

Senin, 22 Agustus 2022

Kakak Kartini Wartawan Perang Pertama Asal Indonesia

 

Nama Raden Mas Panji (RMP) Sosrokartono memang kalah populer dibandingkan adiknya, Raden Ajeng  (RA) Kartini.

Setelah menamatkan sekolah Eropesche Lagere School (ELS) di Jepara, Sosrokartono melanjutkan pendidikannya ke Hoogere Burgerschool ( HBS) di Semarang. Tahun 1898 Sosrokartono bersekolah ke Belanda, yang pada awalnya di Delft, kemudian berganti ke Leiden.

Pendidikan terakhir Sosrokartono adalah jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur. Keistimewaannya saat itu sebagai seorang Indonesia yang bersekolah di Belanda.

Kecerdasan Sosrokartono menarik perhatian Profesor Dr Johan Hendrik Kern. Meski baru pindah kampus, Kern sudah menyuruhnya bicara di Kongres Sastra Belanda di Gent, Belgia, pada September 1899. Sosrokartono menyambut tawaran Kern dengan membawakan pidato Het Nederlandsch in Indie (Bahasa Belanda di Hindia Belanda).

Dalam pidatonya, Sosrokartono menyatakan dengan tegas bahwa selama matahari dan rembulan bersinar, dia menantang dan menjadi musuh dari siapa pun yang akan membuat bangsanya menjadi bangsa Eropa atau setengah Eropa.

Sosrokartono juga adalah musuh bagi mereka yang menginjak-injak tradisi serta adat kebiasaan bangsanya yang luhur. Pidato pertamanya itu merupakan seruan seorang patriotik yang juga mengutarakan agar keluhuran tradisi mesti dipertahankan orang-orang pribumi dimana saja berada.

Berbekal pengetahuan yang terbuka, Sosrokartono meminta pemerintah Belanda agar bahasa Belanda dan bahasa internasional lain diajarkan di Hindia Belanda, tujuannya agar kaum pribumi bisa mempertahankan kemuliaan dan harga diri mereka.

Sebulan kemudian pidatonya dimuat di majalah bulanan Neerlandia. Selepas dari Leiden, Sosrokartono berkelana ke Eropa menjalani beragam profesi. Kemampuannya sebagai polyglot mencatat Sosrokartono menguasai 24 bahasa asing dan 10 bahasa suku di nusantara.

Sosrokartono pernah berperan sebagai penerjemah di Wina, dan wartawan. Kariernya amat gemilang saat Sosrokartono bekerja sebagai wartawan perang The New York Herald Tribune.

Koran ini satu-satunya yang memuat hasil perundingan antara Jerman, diwakili Stresman, yang kalah perang dan Prancis yang menang perang, diwakili Foch.

Perundingan itu berlangsung secara rahasia di sebuah gerbong kereta api di hutan Campienne, Prancis, dan dijaga sangat ketat. Penulis hanya mencantumkan kode bintang tiga, namun di kalangan wartawan Perang Dunia I kode itu dikenal sebagai kode dari wartawan perang Sosrokartono. Tulisan itu menggemparkan Amerika juga Eropa.

Pascaperang, Sosrokartono berprofesi sebagai ahli bahasa di kedutaan Prancis di Den Haag. Sosrokartono meninggal 8 Februari 1952. Ia dimakamkan disamping makam orang tuanya Nyai Ngasirah dan RMA Sosroningrat, di Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah

(Content Writer: Hening Bulan)

PEREMPUAN DI MATA HUKUM DAN POLITIK

                                                        BY : HENING BULAN  ______________________________ 10 / 11 / 2025 ___________________...